© Fotolia

Pangan menjadi persoalan utama yang tak terelakan dalam berjuang menghadapi pandemi tahun ini. Mulai dari ketersediaan, keterjangkauan, hingga kualitas dan keamanan bagi masyarakat terdampak ruang geraknya dengan berbagai tindakan pencegahan penyebaran COVID-19. Badan Urusan Logistik (BULOG) merencanakan alternatif makanan pokok berupa sagu, sebagai pengganti beras di saat pandemi menyerang berbagai kota. Terbatasnya mobilitas impor dan prioritas kebutuhan domestik dari negara penghasil beras menjadi penyebab utamanya.

Situasi yang hampir sama juga dihadapi oleh Singapura. Negara yang 90 persen pangannya bergantung pada impor tersebut, mulai mencanangkan peningkatan produksi pangan berbasis rumahan dari sekitar 10 persen ke 30 persen, selain mencari sumber impor baru dari negara lain.

Mencari alternatif makanan pokok selain beras dengan menggantinya dengan pangan lokal bisa dijadikan momentum untuk meningkatkan produktivitas pangan lokal. Diversifikasi pangan ini mengurangi ketergantungan satu makanan tertentu khususnya beras. Sagu dipilih karena potensinya yang begitu besar dari pesisir Sumatra hingga Papua. Berbeda dengan padi yang cenderung rentan terhadap perubahan iklim dan cuaca, sagu dikategorikan sebagai tanaman sepanjang musim dan memiliki adaptasi yang kuat terhadap siklus alam. Bukan hanya sagu, sorgumtanaman dari Nusa Tenggara Timur juga mempunyai peran penting dalam menopang kebutuhan masyarakat lokal yang kini mulai beralih ke konsumsi beras.

© Laura Jacobsen/Flickr

Jika ditelisik lebih lanjut sebenarnya hampir setiap daerah mampu menghasilkan produk turunan dari pangan lokal masing-masing. Produsen makanan usaha skala kecil-menengah bisa dikatakan ujung tombak pengolahan menjadi makanan siap jadi. Bahkan, sudah banyak inisiasi inovatif yang mencampurkan tepung sagu dan tepung singkong sebagai bahan substitusi tepung gandum dalam membuat kue, mie, serta pangan berbahan tepung lainnya.

Namun, berbagai kendala masih menghalangi potensi maksimal dari usaha diversifikasi pangan ini. Di bagian hulu, petani dan pengusaha produk-produk pangan non strategis masih kurang didukung infrastruktur yang dibutuhkan dalam memenuhi permintaan pasar. Di bagian hilir, usaha besar masih diperlukan untuk mengubah kebiasaan masyarakat yang mengkonsumsi nasi yang begitu tinggi ke panganan lokal non-nasi. Diperlukan agenda dan kebijakan strategis pemerintah yang melibatkan banyak pihak termasuk petani dan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), serta penyuluhan masif kepada publik akan pentingnya konsumsi yang bervariasi yang mengandalkan sumber daya lokal.

Dampak positif dari diversifikasi pangan lokal baik makanan pokok ataupun produk turunannya ini, tidak hanya menjawab krisis di era pandemik, namun juga manfaat jangka panjang yang diterima akan lebih nyata. Masyarakat akan tidak terlalu bergantung terhadap komoditas tertentu di mana beberapa masih didatangkan dari luar negeri. Kemandirian pangan ini tentu meningkatkan resiliensi negara dan masyarakat; serta merupakan manifestasi strategi fundamental dalam menghadapi kemungkinan krisis-krisis lain di masa yang akan datang.