Lahan gambut memiliki karakter tersendiri selain sebagai unsur ekosistem penyangga kehidupan dan pengatur hidrologi, gambut juga berperan dalam mitigasi perubahan iklim dalam hal ini penyimpan karbon. Adanya potensi ekonomi di sektor perkebunan seperti tanaman jenis pinang menjadikan sawit sebagai komoditas raksasa yang menguntungkan hingga membuat masyarakat kecil hingga korporasi membuka lahan gambut untuk tanaman ini.
Tragedi kebakaran hutan dan lahan tahun 2015, yang menurut KLHK 91% sengaja dibakar menjadi cambuk bagi pemerintah dalam menjaga ekosistem khususnya gambut, maka dari itu diperlukan aturan tegas mengenai tata guna lahan gambut yang diintegrasikan dengan rencana tata ruang/wilayah (RTRW) setempat. Hal ini juga didasarkan pada prinsip dasar daya dukung, kemampuan dan kesesuaian lahan, menurut Peraturan Menteri PU nomor 20 tahun 2007 tentang Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik dan Lingkungan, Ekonomi serta Sosial Budaya dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang menetapkan ada empat komponen fisik utama yang harus diperhatikan, antara lain klimatologi, topografi, hidrologi dan geologi serta beberapa komponen tambahan antara lain sumber daya mineral/bahan galian, bencana alam dan penggunaan lahan. Analisis kemampuan lahan pun dibutuhkan untuk memetakan lahan yang potensi untuk fungsi lindung dan budidaya sedangkan analisis kesesuaian lahan diperlukan untuk untuk menilai tingkat kesesuaian lahan terhadap penggunaan tertentu dengan tingkat pengelolaan yang wajar.
Melihat berbagai parameter dalam menyusun tata guna lahan gambut, diperlukan data dan kajian ilmiah yang faktual dan komprensif terkait kondisi alam lahan gambut berada, guna pembuatan rancangan tata ruang/wilayah di lahan gambut yang sesuai fungsi dan peruntukannya khususnya area mana yang bisa dibudidaya dan area mana yang wajib di konservasi dan restorasi.
Prinsip di atas pun erat dengan isu hangat di mana Presiden Joko Widodo menyatakan akan melanjutkan moratorium tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit dengan Intruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018, yang bertujuan untuk menilai sektor perkebunan sawit dari berbagai macam aspek melalui kajian institusi Negara dan dilaporkan secara berkala. Saat ini, komoditi sawit di Indonesia memang menimbulkan opini negatif mulai dari kerusakan ekosistem hingga konflik argaria, moratorium sawit dilanjutkan karena adanya ketidak pastian regulasi tata ruang terkait tata guna lahan gambut antara lahan budidaya, restorasi dan perlindungan.
Bahkan jika RTRW jelas sekalipun, banyak perusahaan serampangan dalam membuka dan/atau membakar lahan, dikarenakan masih banyaknya tumpang tindih antar pemerintah baik lokal maupun pusat hingga antar kementrian menambah rentetan panjang permasalahan tata guna gambut. Setidaknya, hutan dan gambut diatur lima bidang regulasi sumber daya alam, yaitu agraria, kehutanan, lingkungan hidup, pertanian dan perkebunan serta tata ruang. Masing-masing bidang regulasi mengatur fungsi-fungsi tertentu pengelolaan hutan dan gambut, meskipun merujuk obyek sama, yaitu lahan dan sumber daya alam terkandung. Dampaknya, terjadi tumpang tindih substansi norma antarbidang regulasi dan sektoralisme pengelolaan.
Kondisi ini, terlihat pada, pertama, rumusan norma beragam, misal, mendefinisikan gambut, masing-masing bidang regulasi menggunakan istilah, definisi dan kriteria sendiri. Ada sebut ekosistem gambut, kawasan gambut, gambut, kawasan lindung dan kawasan budidaya. Hal tersebut jelas membuat tata guna lahan gambut menjadi rumit dan menyulitkan bagi pihak terkait, seperti antara korporasi dan aktivis lingkungan dalam sengketa masalah hutan dan lahan. Harus dipastikan tidak adanya regulasi dan kebijakan yang tumpang-tindih serta jelasnya RTRW untuk tata guna dan pengelolaan lahan gambut secara efektif.
Tumpang tindih dan sektoralisme menunjukkan rangkaian upaya yang dilakukan sangat buruk dalam perumusan regulasi dan kebijakan. Harus ada agenda perbaikan dalam memaksimal perencanaan tata guna gambut. Pertama, RTRW harus mengupayakan sinkronisasi gambut dengan melibatkan Kementrian Agraria/Badan Pertanahan Nasional sebagai aktor utama bersama instansi lainnya. Kedua, melibatkan partisipasi masif organisasi masyarakat sipil dan komunitas lokal serta pihak kepentingan dalam agenda RTRW hingga pengawasan serta advokasi dalam ketegasan yang telah dicanangkan.
Sumber: Intruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018; Peraturan Menteri PU nomor 20 tahun 2007; Parlindungan, J. Tata Guna Lahan dan Pertumbuhan Kawasan, Pengantar Perencanaan Wilayah dan Kota (dalam Pengantar PWK, Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Brawijaya)