Borneo Under Threat!

Bagikan

Seringkali, program besar yang diinisiasi dari pemerintah pusat melupakan aspek kunci kesuksesan dan keberlanjutan yang terpenting, yaitu pelibatan masyarakat lokal, yang merupakan masyarakat yang paling terdampak program tersebut. Bukan sekali ini saja wilayah gambut di Kalimantan Tengah diproyeksikan untuk program besar. Pertengahan 1990an, Proyek Sejuta Hektar di kawasan gambut (disebut juga Pengembangan Lahan Gambut, PLG) ni dilaksanakan, juga tanpa pelibatan masyarakat adat dan lokal. Hasilnya masih menyisakan kepedihan dan trauma mendalam, terutama bagi penduduk setempat. 

Pada webinar berjudul ‘BORNEO UNDER THREAT! (The controversy around Food Estate project in Central Kalimantan)’ ini, perwakilan dari masyarakat adat Dayak Maanyan di Barito Timur berbagi sudut pandang orang pertama yang benar-benar merasakan dampak negatif perencanaan timpang dari program besar yang seharusnya bisa berkontribusi positif pada kesejahteraan warga. Walaupun program PLG juga dialamatkan untuk peningkatan akses pangan dan pembangunan lain, warga lokal asli, terutama masyarakat adat, malah tertindas dan hak (terutama kelola tanah) mereka terampas. Di tahun-tahun selanjutnya pun, masyarakat lokal masih merasakan akibat gagalnya Proyek Sejuta Hektar. Rusaknya ekosistem gambut yang ada menyebabkan kebakaran lahan yang disertai bencana asap hampir setiap tahun – yang tidak hanya menyebabkan naiknya pengidap Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) namun juga dapat menyebabkan kematian.

Masyarakat yang tinggal di wilayah tempat perencanaaan food estate bisa dibilang merupakan stakeholder terpenting yang harus ditimbang suaranya. Pengelolaan lahan gambut tanpa pelibatan stakeholder lokal tidak hanya akan semakin menyakiti masyarakat lokal, namun meluas ke wilayah sekitarnya. Terutama, karena resiko kebakaran dan asap yang ditimbulkan tidak memandang batas wilayah. Belum lagi, hilangnya fungsi ekosistem yang dimiliki oleh lahan gambut.

Artikel Lainnya