Artikel ini pernah diterbitkan di kmplhkranita.org
–
Apa itu lahan gambut? Secara teknis dapat diartikan sebagai bahan organik dari serasah tanaman yang terus mengendap dan tergenang di rawa atau cekungan air tawar. Situasi ini berlangsung selama ribuan tahun dan lambat laun serasah yang tidak terdekomposisi ini membentuk tanah gambut. Kondisi alaminya selalu basah dan lembab sehingga tidak mudah terbakar. Hal ini menjadikan gambut sebagai lahan suboptimal (kurang subur) karena selalu tergenang dan memiliki tingkat kemasaman yang tinggi. Tanahnya seperti spons dengan fungsi penting untuk menyimpan air serta menyerap karbon.
Lahan gambut hanya menyumbang 8% dari luas daratan Indonesia tetapi menyimpan biomassa lebih dari 30% dari seluruh hutannya, dan 9,4% karbon dari penyimpan karbon dunia. Meski demikian, ia memiliki ekosistem yang rapuh. Banyak gambut tropis yang dikeringkan agar lahannya bisa dijadikan perkebunan. Selama musim kemarau, sistem drainase yang buruk menghilangkan fungsi penyimpanan air yang menyebabkan tanah menjadi kering sehingga mudah terbakar. Oleh karena itu, banyak orang menghubungkan pemanfaatan lahan gambut dengan perusakan lahan dan kebakaran hutan besar-besaran.
Tidak dapat dipungkiri bahwa bercocok tanam di lahan mineral memiliki produktivitas yang lebih tinggi dan risiko yang lebih kecil dibandingkan dengan lahan gambut. Namun, dengan semakin berkurangnya lahan garapan dan meningkatnya pertumbuhan penduduk, tekanan untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional tidak bisa hanya mengandalkan pertanian di lahan subur saja.
Lahan gambut telah digunakan untuk produksi pangan selama ratusan tahun. Sejak abad ke-18 suku Bugis dari Sulawesi Selatan, Suku Banjar dari Kalimantan Selatan, suku Dayak dari Kalimantan Tengah, dan Suku Melayu dari Provinsi Riau telah memanfaatkan lahan gambut secara tradisional untuk persawahan, perkebunan kelapa, dan perkebunan karet. Pemanfaatan lahan gambut secara tradisional cenderung lebih berkelanjutan karena petani hanya memanfaatkan sebagian kecil lahan yang dipengaruhi oleh pasang surut air sungai.
Di awal 1990-an, keberhasilan pertanian tradisional tersebut menginspirasi pemerintah untuk menginisiasi pembangunan pertanian skala besar di Kalimantan Tengah. Melalui Instruksi Presiden RI No. 82 Tahun 1995, pemerintah mulai mengkonversi satu juta hektar lahan gambut untuk pertanian yang dikenal dengan “Mega Rice Project (MRP)”. Namun proyek ini berakhir dengan kegagalan masif yang mengakibatkan kehancuran gambut, kebakaran, asap, dan emisi karbon terbesar sepanjang sejarah Indonesia.
Sejak saat itu, pertanian di lahan gambut banyak menuai kecaman. Ditambah dengan tekanan lembaga internasional seperti UNFCCC serta maraknya kebakaran hutan dan lahan. Akan tetapi bagaimana dengan jutaan warga yang tinggal di wilayah-wilayah yang didominasi lahan gambut? Ke manakah mereka harus menggantungkan sumber penghidupan serta kebutuhan pangannya? Penggunaan lahan gambut untuk pertanian dan perkebunan sepatutnya diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu agar tidak terjadi degradasi dan kebakaran.
Tentunya perlu diingat bahwa tidak semua lahan gambut cocok untuk pertanian. Di Indonesia sendiri dari 13,4 juta hektar, hanya sekitar 6 juta hektar yang dapat dijadikan area agrikultur. Pengelolaannya pun harus dengan perencanaan yang mendalam dan transparan agar tidak mengulangi kegagalan proyek sebelumnya. Ada banyak aspek yang diperlukan untuk memungkinkan praktik budidaya seperti kondisi lahan, sistem pengairan, pupuk, bibit adaptif, teknologi, dan investasi. Gambut dangkal dengan kedalaman kurang dari satu meter dapat ditanami berbagai komoditas seperti tanaman pangan (padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, dll), sayuran (cabai, terong, tomat, mentimun, kacang-kacangan, dll), dan tanaman perkebunan (kelapa, karet, sawit, kopi, sagu).
Upaya pemberdayaan pertanian di lahan gambut tanpa bakar telah dilakukan dari waktu ke waktu untuk membantu masyarakat lokal menghasilkan pangan sendiri. Dengan persiapan yang matang, praktik ini bisa menjadi salah satu solusi untuk mendukung produksi pangan. Sebagai contoh, usaha tani kedelai menunjukkan hasil yang menjanjikan di Kabupaten Mempawah dan Kubu Raya, Kalimantan Barat. Komoditas lain seperti buah naga, nanas, dan kemiri juga banyak ditanam di lahan gambut di Kabupaten Pulang Pisau dan Gunung Mas di Kalimantan Tengah. Selain itu, pertanian padi di lahan gambut dianggap sebagai alternatif utama untuk merehabilitasi lahan gambut yang terdegradasi dengan memastikan kelestarian lingkungannya.
Contoh lain dapat ditemukan di Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau. Lahan gambut telah dimanfaatkan untuk industri kelapa selama lebih dari 30 tahun dengan penerapan “Trio Tata Air” atau TTA. Meskipun salah satu komponen TTA adalah jaringan kanal, fungsi utamanya adalah untuk mengatur suplai dan tinggi muka air, bukan untuk mengeringkan. Dengan jumlah air yang tepat, tanaman dapat bertumbuh sekaligus menjaga kelembaban tanah sehingga tidak terjadi kebakaran.
Pandemi COVID-19 telah menunjukkan kerentanan sistem pangan kita. Pembangunan sentra pangan lokal, termasuk di kawasan lahan gambut, dapat mengatasi tiga masalah utama: ketimpangan sentra produksi pangan, distribusi pangan yang panjang, dan kesejahteraan petani. Sebagai negara kepulauan, sebagian besar sentra produksi pangan dan distribusinya masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Distribusi pangan membutuhkan waktu lebih lama untuk menjangkau ribuan daerah lain di tanah air. Rantai pasok yang tidak efektif dapat menyebabkan kelebihan pasokan di satu area dan kekurangan di area lain.
Mengembangkan produksi pangan lokal akan meningkatkan lapangan kerja. Ini juga berarti memperpendek rantai pasokan makanan untuk memenuhi kebutuhan lokal. Pemerintah daerah dan masyarakat harus memperkuat swasembada pangan untuk meningkatkan ketahanan terhadap kejadian yang tidak terduga seperti bencana, epidemi, atau pun pengurangan impor pangan.