03 Oktober 2025 09:57
Sejak awal abad ke-20, masyarakat di Indragiri Hilir (Inhil), Riau sudah bergantung pada pertanian monokultur kelapa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Seiring berjalannya waktu, kelapa bukan hanya menjadi sumber penghasilan—tetapi juga identitas budaya dan penopang ekonomi keluarga. Namun, ketergantungan penuh pada hanya satu komoditas ini menjadikan petani semakin rentan terhadap fluktuasi harga kelapa di pasar sekaligus dampak perubahan iklim seperti banjir dan degradasi lahan. Hal-hal tersebut kini juga kian mengancam kesejahteraan petani dan ketahanan pangan secara lebih luas.
Untuk merespon tantangan tersebut, riset kami menyoroti agroforestri—sistem yang, pada konteks Inhil, mengombinasikan kelapa dengan tanaman-tanaman lain yang sesuai dengan gambut. Dengan penerapan yang tepat, agroforestri dapat meningkatkan produktivitas lahan, memperkuat stabilitas ekonomi petani, sekaligus menjaga keberlanjutan ekologi gambut.
Tantangan Agroforestri di Tanah Gambut Indragiri Hilir
Lahan gambut merupakan salah satu penyerap karbon terbesar di dunia, sehingga pertanian di atas lahan gambut dapat berisiko. Walau begitu, sejak lama, masyarakat di berbagai wilayah Indonesia sudah mengandalkan ekosistem rentan ini sebagai sumber pangan dan penghidupan. Misalnya, research brief kami menyebutkan bahwa komunitas Dayak di Kalimantan sudah lama mempraktikkan pertanian skala kecil di lahan gambut dan menanam sagu. Di Riau, masyarakat juga sudah mengolah sagu dan purun sebagai tanaman tradisional di lahan gambut sejak lama.
Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa lahan gambut bisa mendukung resiliensi komunitas di atasnya, salah satunya, melalui produksi pangan berbasis pertanian—selama dikelola dengan bertanggung jawab. Jika manajemen gambut tidak dilakukan secara bertanggung jawab, lahan gambut akan sangat rentan rusak yang kemudian memicu pelepasan emisi karbon secara besar. Hal ini merupakan risiko yang berkesinambungan erat dengan peningkatan perubahan iklim.
Berdasarkan pelajaran tersebut, kami meneliti potensi agroforestri sebagai strategi yang lebih berkelanjutan di perkebunan kelapa Inhil jika dibandingkan dengan perkebunan kelapa monokultur. Namun, selama prosesnya, kami menemukan bahwa praktik ini masih jarang dilakukan di Inhil. Salah satu faktornya adalah budaya pertanian kelapa monokultur yang sudah mengakar kuat selama kurang lebih satu abad. Jika dilakukan, praktik agroforestri di Inhil masih dimotivasi oleh keuntungan nilai ekonomi ketimbang fungsi ekologi. Sedangkan, tanaman yang bisa tumbuh di tanah gambut yang asam dan tergenang bisa terbilang terbatas, terlebih yang memiliki nilai di pasaran. Sejauh ini, hanya beberapa jenis—seperti pinang, pisang, singkong, nanas, dan sesekali kopi liberika—yang dianggap cocok sekaligus menguntungkan secara ekonomi.
Tradisi Agroforestri Nusantara: Dari Surjan hingga Pekarangan
Meski penuh tantangan, temuan kami juga menyoroti adanya peluang. Dengan pilihan komoditas yang tepat serta akses pasar yang baik, agroforestri mampu memberi jaminan pendapatan bagi petani sekaligus mencegah gambut dari kerusakan, terutama di masa perubahan iklim saat ini.
Walaupun agroforestri terdengar seperti solusi baru bagi komunitas petani gambut di Inhil, sebenarnya sistem ini sudah banyak dipraktikkan secara luas oleh komunitas tradisional dan adat di Indonesia. Hanya saja, sistem agroforestri dikenal dalam berbagai nama yang berbeda lintas daerah dan budaya. Sebagai contoh, Susilawati dan Nursyamsi menyebutkan bahwa masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan, masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan, dan komunitas lokal Jawa Tengah sudah lama mempraktikkan surjan sebagai salah satu kearifan lokal. Sistem surjan dilakukan dengan bertani padi, mangga, sekaligus jeruk di lahan rawa pasang-surut untuk mengantisipasi risiko iklim.
Di sisi lain, publikasi Tropenbos International tahun 2024 menyebutkan beberapa praktik tradisional lain.
Simpukng: agroforestri rotan dan pohon buah-buahan yang dilakukan masyarakat Dayak di Kalimantan Timur.
Tembawang: agroforestri karet dan buah tengkawang oleh komunitas Dayak di Kalimantan Barat.
Repong: agroforestri damar dan karet yang ditanam oleh masyarakat lokal Lampung.
Parak: agroforestri tanaman rempah dan pohon kayu di Sumatra Barat.
Pekarangan dan talun: agroforestri tanaman buah, sayur, dan tanaman bernilai ekonomi lainnya yang berkembang di Jawa.
Tidak hanya itu, masih banyak nama dan sistem lain seperti kemenyan, dusung, dukuh, lembo, dan seterusnya.

Ragam Sistem Agroforestri: Dari Tumpangsari hingga Hutan Mini
Berdasarkan Pusat Penelitian Kehutanan Internasional dan Pusat Penelitian Agroforestri Dunia (CIFOR-ICRAF), praktik agroforestri umumnya terbagi menjadi dua kategori utama yaitu sistem sederhana (tumpangsari) dan sistem kompleks. Sistem agroforestri sederhana dilakukan dengan penanaman pohon kayu bersama dengan satu atau lebih tanaman pangan di lahan yang sama. Misalnya, penanaman padi atau jagung di sela-sela pohon jati muda, atau berkebun kopi di bawah pohon pelindung. Sedangkan, sistem agroforestri kompleks ditandai dengan kemiripannya dengan hutan buatan karena adanya bermacam-macam tanaman dengan tinggi berbeda-beda, seperti pohon berkayu, tanaman buah, tanaman sayur, tanaman obat, di lahan yang sama membentuk perkebunan multistrata. Beberapa contohnya adalah pekarangan rumah, atau kebun campuran karet-damar di lahan bekas hutan. Dalam praktiknya, sistem sederhana umumnya memberikan hasil panen yang lebih cepat. Di sisi lain, sistem agroforestri kompleks lebih kaya akan keanekaragaman sehingga mampu memberi ketahanan ekologi sekaligus ekonomi dan pangan bagi petani secara lebih berkelanjutan.
Tropenbos International juga membagi agroforestri ke dalam 3 tipologi berdasarkan tujuan peruntukannya. Pembagian tersebut mencakup sistem tumpangsari paling sederhana yang sering dilakukan di perkebunan industri, sistem agroforestri semi kompleks yang biasanya dilakukan oleh petani kecil untuk menyeimbangkan produktivitas lahan sekaligus pendapatan (yang banyak dilakukan oleh petani di Inhil), dan sistem perkebunan agroforestri keluarga yang kompleks—bentuk ini bisa berkembang hingga menjadi hutan buatan mini yang juga sarat akan nilai sosial-budaya. Meski bentuk dan fungsinya beragam, namun ketiga sistem tersebut sama-sama mampu menjaga penghidupan petani sekaligus mendorong resiliensi komunitas dan lahan.
Melangkah Maju dengan Peluang Agroforestri di Indragiri Hilir
Contoh-contoh agroforestri dari berbagai penjuru Indonesia di atas membuktikan bahwa penerapan sistem ini bukanlah hal yang mustahil bagi petani gambut di Inhil. Agroforestri dapat menjadi salah satu upaya untuk memperkuat ketahanan petani sekaligus menjaga ekosistem lahan dalam menghadapi tantangan iklim.
Ikuti webinar kami bersama Zentide dan Greeneration Foundation pada 16 Oktober 2025 untuk melihat lebih jauh bagaimana agroforestri dapat membangun ketangguhan petani dan gambut. Catat tanggalnya, dan ikuti kami di Instagram serta LinkedIn untuk informasi lebih lanjut!
Kobexindo Tower – 2nd Floor, Jl. Pasir Putih Raya Blok No.E-5-D, Ancol, Pademangan, North Jakarta, Indonesia, 14430
Phone: (021) 6603926
WhatsApp: +62 815 8855 584
Kebijakan Privasi
Copyrights © 2025 Tay Juhana Foundation